06 Mei 2009

Flu Babi

Sebelumnya, pada 26 April lalu atau dua hari sebelum pernyataan terakhirnya, menteri kesehatan Meksiko menyatakan bahwa Flu Babi telah mengakibatkan 103 orang tewas. Artinya, dalam dua hari telah terjadi penambahan 46 korban meninggal karena Flu Babi. Sejak diketahui kasus penyakit yang juga biasa disebut “Swine Flu” pada 13 April lalu, hanya dalam waktu sekitar sepuluh hari, departemen kesehatan Meksiko menyatakan penyakit ini telah menewaskan 86 orang dan menyerang lebih dari 1.400 jiwa.

Menghadapi penyebaran penyakit Flu Babi ini, pemerintah Meksiko sampai menutup sekolah-sekolah guna mengantisipasi penyebarannya. Pemerintah AS juga mengumumkan bahwa virus telah ditemukan di New York, California, Texas, Kansas, dan Ohio, namun belum ada laporan mengenai korban jiwa.

Melihat tanda-tandanya, maka Flu Babi termasuk jenis penyakit sangat mudah menular dan menimbulkan tingkat kematian cukup tinggi. Akibatnya, mau tak mau pemerintah setempat harus menyiapkan obat guna mengantisipasi pandemi Flu Babi. Akibatnya, semakin tinggi tingkat penyebaran Flu Babi di dunia, maka permintaan obat Tami Flu sebagai penangkal Flu Babi akan meroket seketika. Apalagi hingga saat ini, Tamiflu belum mempunyai pesaing sejenis guna melumatkan virus flu jenis H1N1 ini.

Efeknya, keuntungan luarbiasa akan didapat bagi produsen Tamiflu, yakni perusahaan Roche asal Swiss dan Backfer dari AS. Pandemi Flu Babi tentu akan membuat mereka kaya raya. Apalagi jika ternyata seluruh negara di dunia berlomba untuk mendapatkan Tamiflu. Tentu tak hanya pemilik perusahaan yang kaya, ia juga bisa membagi keuntungannya kepada orang lain yang dianggap ‘berjasa’, termasuk kepada pejabat negara, terutama di pejabat AS sendiri. Indikasi ini pernah diutarakan warga AS bernama Jerry D Gray dalam bukunya “Deadly Mist”. Ia mensinyalir adanya konspirasi tingkat tinggi antara perusahaan farmasi dunia dengan orang-orang di tampuk kekukasaan AS. Tujuannya adalah untuk melakukan kontrol populasi pada umat manusia guna mengurangi beban kehidupan di masa akan datang. Selain itu, motif untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya juga menjadi latar belakang adanya konspirasi ini (lihat Majalah INTELIJEN Edisi 1 Th VI).

Uniknya, keuntungan ekonomi besar yang didapat dari merebaknya penyakit Flu Babi justru terjadi di saat dunia mengalami krisis ekonomi global, khususnya AS. Dengan keuntungan yang besar itu, beban AS untuk menghadapi krisis tentu akan semakin ringan.

Bermain Api

Menteri Kesehatan RI Siti Fadilah Supari menyatakan, pada 1918, virus H1N1 pernah menyerang manusia secara ganas. Penyakit yang dinamakan Flu Spanyol ini, menewaskan puluhan juta orang melebihi korban Perang Dunia I saat itu. Menkes sendiri tidak mengetahui, mengapa virus jenis ini muncul kembali. Catatan sejarah menyebutkan, bahwa sekitar 40-50 juta orang meninggal akibat serangan virus H1N1 atau Flu Spanyol. Pada waktu itu, Perang Dunia I telah berakhir dan krisis ekonomi global juga melanda seluruh dunia karena dampak perang.

Kini, setelah sekitar 90 tahun berlalu, H1N1 muncul kembali di Meksiko dan bisa jadi, virus ini telah bermutasi sehingga menjadi lebih ganas. Lalu mengapa kemunculan virus itu terjadi di Meksiko yang memiliki perbatasan darat secara langsung dengan AS? Apakah sebuah kebetulan belaka jika ternyata letak laboratorium pusat riset virus AS di Los Alamos, negara bagian New Meksiko, ternyata lokasinya tidak terlalu jauh dengan pusat epidemi Flu Babi di negara Meksiko? Apalagi, AS hingga saat ini sangat konsisten melakukan penelitian terhadap penyakit-penyakit berbahaya. Laboratorium NAMRU di Indonesia misalnya, laboratorimum ini banyak melakukan eksperimen terhadap penyakit-penyakit yang sifatnya menyebar dengan cepat dan kemudian mewabah serta memiliki kematian tinggi.

Kepada INTELIJEN, Ketua Presidium MER-C Jose Rizal Jurnalis menyatakan bahwa AS sangat giat melaksanakan eksperimen-eksperimen seperti ini.
“Tidak ada negara lain seaktif AS yang terus melakukan eksperimentasi, terutama terhadap penyakit yang tingkat mortalitasnya tinggi atau menimbulkan kecacatan dan penyebarannya terjadi secara cepat,” begitu katanya. Menurutnya, juga terasa unik karena negara yang pertama kali terkena Flu Babi adalah Mexico, sebagai tetangga dekat negara AS. Lalu negara lain yang merupakan tetangga Mexico, belum ada kasus Flu Babi yang sampai mengakibatkan korban meninggal. Masih menurut Jose Rizal, ia juga merasa heran karena kuman Fabiola pada penyakit cacar yang bisa menyebabkan kematian dan sudah tidak ada lagi di dunia, tapi justru AS masih memiliki dan menyimpan virus itu.

“Padahal itu berbahaya, meski mereka beralasan mempunyai vaksinnya. Seharusnya virus berbaya itu, apalagi sudah mengakibatkan kematian banyak orang harus dimusnahkan,” begitu lanjut Jose Rizal. Mungkin karena fakta-fakta itulah yang menyebabkan Menkes Siti Fadilah Supari sempat mempertanyakan, mengapa virus H1N1 yang sudah lama hilang, kini muncul kembali sehingga menimbulkan epidemi Flu Babi. Apalagi, ibu menteri ini punya pengalaman buruk tersendiri terkait penanganan penyebaran penyakit menular, khususnya Flu Burung yang selama ini berkiblat kepada WHO. Mekanisme yang selama ini berjalan dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak adil.

Kongkalikong

Terkait kasus Flu Burung, Indonesia telah mengirimkan lebih dari empat sampel virus ke laboratorium WHO di Hongkong. Akan tetapi, WHO justru memberikan sampel virus itu ke sebuah perusahaan farmasi dunia terkemuka. Tidak hanya itu, sampel virus juga dikirimkan WHO ke ke laboratorium AS di Los Alamos. Hal itu sesungguhnya tidak boleh terjadi karena ini akan menjadikan ketergantungan pada perusahaan farmasi itu bila ingin mendapatkan vaksinnya. Padahal, perusahaan itu membuat vaksin berdasarkan sampel virus yang telah dikirimkan Indonesia.

Seharusnya ada pembagian yang adil dalam hal ini. Atau jika sharing itu tidak dilakukan, maka pada prinsipnya sesuatu yang bisa membahayakan nyawa manusia harus diberantas. Usaha itu harus dilakukan bersama-sama oleh seluruh negara dan bukan dijadikan ladang bisnis. Tetapi yang terjadi justru kebalikannya. Ketika Indonesia mempersiapkan diri menghadapi pandemi Flu Burung, Tamiflu sebagai obat Flu Burung susah didapatkan, hanya negara produsen dan negara maju lainnya yang diutamakan untuk memilikinya. 

Jika obat itu tersedia di pasaran, maka bisa dijamin harganya sudah melambung tinggi karena semua negara berlomba-lomba untuk membeli Tamiflu. Indonesia mendapatkan satu kapsul Tamiflu seharga Rp 20 ribu. Ketika beberapa waktu lalu, pemerintah menyiapkan antisipasi penyebaran bagi penyakit ini, maka dana sebesar Rp 40 miliar telah hilang hanya untuk pengadaan 2 juta kapsul Tamiflu.

Bila Flu Babi benar-benar telah menjadi pandemi dan menimpa banyak negara, maka bisa dibayangkan besarnya keuntungan yang didapat produsen Tamiflu dalam waktu yang sangat singkat itu. Karena motivasi seperti itu, negara Kuba pernah mengalami ‘chemtrails’, begitu pula di Indonesia. Di AS, peristiwa serupa juga terjadi di beberapa kota. Chemrails merupakan jejak awan kimia yang berisi virus maut. Beberapa ahli geofisika justru menyatakan awan tersebut berhubungan dengan cuaca.

“Namun setelah saya perhatikan, maka itu sangat mirip dengan “chemical trail”. Ternyata ada pesawat yang khusus melakukan tugas seperti itu. Di Kuba, pesawat jenis ini pernah ditangkap,” ungkap Jose Rizal. Menurutnya, perilaku-perilaku seperti ini sangat eksploitatif sekali, di mana penyakit berbahaya dijadikan bahan bagi percobaan massal. Lalu, penyakit berbahaya itu juga dijadikan lahan bisnis. Ini sangat jahat sekali. Meski hal-hal seperti itu juga ditujukan kepada warga AS, tapi kebanyakan korbannya adalah dari kelompok Hispanic dan Afro. Konon, aktivitas seperti itu bukan hanya dilakukan dalam persoalan dunia kesehatan, tapi juga diterapkan di dalam bidang pertanian. Tujuannya semata-mata demi melanggengkan superioritas dan menciptakan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. 


1 komentar: